1.
Jenderal Abdul Haris Nasution
AH Nasution dianugerahi pangkat kehormatan menjadi Jenderal Besar TNI
sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 46/ABRI/1997, pada 30
September 1997.
Berdasarkan laman resmi Pusat Sejarah TNI, AH Nasution lahir di Huta Pungkut,
Kecamatan Kotanopan, Tapanuli Selatan, pada 3 Desember 1918. Ia merupakan putra
kedua dari pasangan H Abdul Halim Nasution dan Zahara Lubis.
Menilik riwayat pendidikannya, AH Nasution menyelesaikan studi di Hollandsche
Inlandsche School (HIS) pada tahun 1932. Setelahnya ia melanjutkan studi ke
Sekolah Raja Hoofden School atau sekolah pamong praja di Bukit Tinggi.
Lalu, di tahun 1935 Nasution melanjutkan pendidikannya di Hollandsche
Inlandsche Kweekschool (HIK), yaitu Sekolah Guru Menengah di Bandung.
Selanjutnya, ia mengikuti ujian Algemene Middlebaare School B (AMS) di Jakarta,
dan pada 1938 ia mendapat dua ijazah sekaligus.
Setelah menyelesaikan studinya, Nasution lalu menjadi guru di Bengkulu dan
Palembang. Sayangnya, profesi tersebut kurang cocok untuknya, sehingga ia mulai
tertarik berkecimpung di bidang militer dengan mengikuti rangkaian pendidikan
Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO) KNIL atau Korps Pendidikan Perwira
Cadangan di Bandung pada 1940-1942.
Seusai menjalani studi militernya, Nasution diangkat menjadi vaandrig atau
pembantu letnan calon perwira dan ditempatkan di Batalion 3 Surabaya, Kebalen.
Saat Perang Dunia II, Batalion 3 ditugasi untuk mempertahankan pelabuhan
Tanjung Perak.
Pasca kemerdekaan Indonesia, pemerintah membentuk Tentara Keamanan Rakyat atau
TKR. Nasution lantas diangkat menjadi kepala staf komandemen TKR I/Jawa Barat.
Ia bertugas menyusun organisasi dan administrasi.
Lalu, di tahun 1948 dirinya menjabat sebagai Wakil Panglima Besar Angkatan
Perang Republik Indonesia (APRI), kariernya kian melejit hingga menjadi
Jenderal Mayor dan menjabat Panglima Divisi III/TKR Priangan yang juga dikenal
menjadi Divisi I/Siliwangi.
Pada 10 Desember 1949, Nasution diangkat menjadi kepala staf angkatan darat
(KSAD). Ia sempat dinonaktifkan akibat konflik antara Angkatan Darat dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) karena dianggap terlalu jauh mencampuri masalah
internal Angkatan Darat.
Selama berkiprah di militer, Nasution memiliki sejumlah peran penting dalam
perjalanan sejarah Indonesia. Ia merupakan sebagai peletak dasar perang gerilya
melawan Belanda saat memimpin pasukan Siliwangi pada masa Agresi Militer I
Belanda.
Selain itu, Nasution juga menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata pada 1965 dan
menjadi salah satu target peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S PKI). Meski
selamat, anak bungsunya yakni Ade Irma Suryani menjadi korban dari tragedi
berdarah tersebut.
AH Nasution wafat pada 6 September 2000 akibat menderita stroke dan berujung
koma. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
2.
Jenderal Sudirman
Merangkum dari arsip detikcom, Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh
yang memperoleh pangkat bintang lima. Ia lahir di Bodas Karangjati, Rembang,
Purbalingga pada 24 Januari 1916.
Putra dari pasangan Karsid Kartawiuraji dan Siyem ini lebih sering tinggal
bersama pamannya yang bernama Raden Cokrosunaryo setelah diadopsi. Ketika
Sudirman pindah ke Cilacap pada 1916, ia bergabung dengan organisasi Islam
Muhammadiyah dan menjadi siswa rajin serta aktif di tiap kegiatan
ekstrakurikuler.
Memiliki kemampuan dalam memimpin dan berorganisasi serta ketaatan dalam agama,
menjadikan Jenderal Sudirman dihormati oleh masyarakat. Ketika usianya
menginjak 31 tahun, ia telah menjadi seorang jenderal.
Menderita sakit paru-paru yang parah tidak menghentikannya untuk tetap
bergerilya melawan Belanda. Jenderal Sudirman selalu konsisten dan konsekuen,
bahkan ketika membela kepentingan Tanah Air. Sikap bijaksananya ini terlihat
ketika Agresi Militer II Belanda.
Dalam buku IPS karya Drs. Anwar Kurnia disebutkan bahwa TNI mundur dan
melakukan perlawanan gerilya di bawah pimpinan Jenderal Sudirman.
Panglima Besar Jenderal Sudirman memerintahkan tentara republik ke luar kota
untuk bergerilya kembali. Jenderal Sudirman memutuskan untuk memimpin gerilya
meski dirinya kala itu dalam keadaan sakit berat yakni TBC.
Sudirman memimpin perjuangan gerilya tersebut dengan berpindah-pindah. Dalam
keadaan kesehatannya yang semakin menurun, ia terpaksa harus ditandu.
Meski begitu, Jenderal Sudirman telah menjelajahi wilayah gerilya di daerah
selatan Yogyakarta, Karesidenan Surakarta, Madiun, dan Kediri.
Adapun mengenai peranan Jenderal Sudirman dalam mempertahankan kemerdekaan
Indonesia, yaitu:
1. Pada tanggal 23 Agustus 1949, pemerintah membentuk Badan Keamanan Rakyat
(BKR), Sudirman diangkat menjadi ketua BKR untuk wilayah Banyumas.
2. Tanggal 12 Desember 1945, Kolonel Sudirman memimpin TKR (Tentara Keamanan
Rakyat) mengusir sekutu dari Ambarawa dalam mempertahankan kemerdekaan
Indonesia dari pengaruh sekutu.
3. Pada awal proklamasi kemerdekaan Indonesia, Sudirman memimpin pasukan PETA
(Pembela Tanah Air) dalam merebut senjata dari tentara Jepang yang ada di
Indonesia.
Jenderal Sudirman meninggal dunia pada 29 Januari 1950 di usianya yang ke-34
tahun.
3.
Jenderal Soeharto
Penerima pangkat Jenderal Besar selanjutnya adalah Jenderal Soeharto. Melansir
dari laman resmi Perpusnas, Mayor Jenderal TNI Soeharto lahir pada 8 Juni 1921
di Yogyakarta. Ayahnya merupakan seorang petani, yaitu Kertosudiro dan ibunya
adalah Sukirah.
Pendidkan Soeharto dijalani dengan berpindah-pindah. Di tahun 1941, dia
terpilih sebagai prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah.
Soeharto resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Sejumlah jabatan yang
pernah ia tempati di kemiliteran yaitu sersan tenatara KNIL, komandan PETA,
komandan resimen dengan pangkat Mayor dan Komandan Batalyon berpangkat Letnan
Kolonel.
Kemudian, pada tahun 26 Desember 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah.
Seorang anak pegawai Mangkunegaran di Solo. Mereka dikaruniai enam anak, yaitu
Siti Hardijanti Rukmana, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati
Heriyadi, Hutomo Mandala Putra, dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Soeharto ditunjuk menjadi presiden pasca pemberontakan G30S PKI. Kala itu, MPRS
melakukan sidang istimewa pada 1967 dan menunjuk Soeharto sebagai pejabat
Presiden. Tahun berikutnya, pada Maret 1968 dirinya resmi menjabat sebagai
Presiden RI Kedua.
Dalam sejarahnya, Soeharto menjadi presiden dengan masa pemerintahan terlama di
Indonesia, yakni selama 32 tahun melalui 6 kali pemilu.
Selama itu, ia didampingi oleh sejumlah Wakil Presiden yaitu Hamengkubuwono IX,
Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Soedharmono, Try Sutrisno, hingga Bacharuddin
Jusuf (BJ) Habibie.
Kepemimpinannya dianggap berhasil karena menjaga stabilitas negara. Bahkan
dirinya dijuluki sebagai Bapak Pembangunan. Namun, stabilitas yang selama itu
ia gaungkan akhirnya goyah, krisis ekonomi 1998 menjadi titik awal dituntutnya
Soeharto untuk mundur dari kursi pemerintahan.
Suasana memanas, demonstrasi mahasiswa hingga kerusuhan terjadi di Jakarta,
Yogyakarta, Bandung, dan daerah lainnya. Mereka menuntut reformasi untuk
dilakukan dan Soeharto diminta turun dari jabatannya.
Akhirnya, sidang digelar dan menghasilkan keputusan bulat. Pada hari Kamis, 21
Mei 1998, Soeharto menyatakan bahwa dia melepaskan jabatannya sebagai presiden.
8 Tahun kemudian Soeharto meninggal dunia usai menjalani perawatan selama 24
hari di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan. Ia wafat pada 27 Januari
2008 dan dimakamkan di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah.
#jendraltni #jendral #jendralbintang5 #ahnasution #abdulharisnasution #sudirman #jendralsudirman #soeharto #jendralsoeharto #presidensoeharto #prajurithebat #panglimahebat #panglimatinggi
#bintang5
Komentar
Posting Komentar